BATIK telah dikenal di dunia internasional sejak beberapa abad yang lalu. Batik tidak hanya dikenal sebagai produk barang konsumsi yang digunakan oleh bangsa Indonesia dalam keseharian mereka.
Tetapi, batik lebih dikenal sebagai produk budaya bernilai tinggi. Unik, karena meskipun banyak negara mengembangkan seni batik, tetapi Indonesia tetap top, teratas. Bahkan, di berbagai museum dunia, atau koleksi pribadi terdapat ribuan karya seni anak bangsa, termasuk karya maestro batik sejak dulu kala, batik telah menjadi identitas bangsa.
Batik telah pula diakui sebagai warisan budaya dunia,
Karena itu pula, beralasan kita dalam beberapa tahun terakhir ini menyelenggarakan Hari Batik Nasional dan bahkan World Batik Summit 2011 berlangsung di Jakarta. Sebagai bagian dari acara, juga diselenggarakan berbagai kegiatan di Pekalongan, salah satu sentra batik terkemuka kita.
Orang bule sadar bahwa batik bukan sekadar bahan pakaian semata. Tetapi, karya adiluhung nenek moyang ini juga medium untuk menampilkan keindahan. Bak karya pelukis adiluhung dunia, Picasso dan sejenisnya. Karena telah mendunia, dan sumber utamanya adalah di Bumi Pertiwi, tak salah pula jika batik kita gunakan untuk berdiplomasi, tepatnya diplomasi budaya, yang masuk dalam genre softpower.
Penggunaan softpower dalam hubungan internasional kini kian menonjol. Konsep softpower yang diperkenalkan oleh Profesor Joseph Nye dari Harvard University adalah penonjolan cara-cara non-militer dalam mempengaruhi negara lain atau memoles citra (image polishing) melalui kekuatan politis, ekonomi dan kebudayaan. Bukan dengan pemaksaan (coercion), ancaman (threats) maupun kekuatan militer.
Pemerintah suatu negara memproyeksikan softpower tersebut ke luar melalui cara-cara diplomasi publik (public diplomacy campaign). Maka sudah saatnya kita juga memproyeksikan batik ke undertaking yang serius, tidak ecek-ecek!
***
PADA DASARNYA diplomasi publik ditujukan kepada masyarakat di luar negeri, melalui instrumen dan cara-cara yang masuk dalam kelompok second track diplomacy, melalui kegiatan pertukaran dan penyebaran kebudayaan, dialog antar-bangsa, kerjasama organisasi kemasyarakatan.
Kini terdapat ribuan ahli batik dunia. TIdak hanya di Belanda atau di bilangan Negara Eropa lainnya, tetapi juga di Amerika Serikat, di Afrika. Batik telah menjadi karya serius, sehngga studi batik ini telah menghasilkan ratusan doktor dari berbagai bangsa!
Maka, batik bepotensi besar dalam mendukung diplomasi kebudayaan kita, softpower kita.
Tanpa kita sadari, di sepanjang tahun para peneliti dan pencinta batik dunia mengadakan pertemuan, mendiskusikan batik sebagai karya seni tinggi, sambil berpameran. Kini banyak pula penelitian dilakukan dalam program bergelar doktor dalam bidang batik, dan literatur tentang batik telah berkembang pesat.
Pengalaman bertemu dengan jaringan komunitas batik dunia semakin meyakinkan penulis betapa dahsyatnya potensi batik untuk mendukung diplomasi kita.
Misalnya, ketika penulis bekerjasama dengan Manggha Museum of Japanese Art and Technology di Krakow dan pakar batik asal Australia, Dr. Maria Friend, memamerkan batik klasik milik kolektor batik asal Jerman, Dr. Armand Smend, menyelenggarakan penyelenggaraan pameran Batik Klasik Jawa bertema Unusual Encounters: Javanese Batik in Krakow, Polandia.
Pameran itu direkam baik dalam buku dengan judul yang sama, diterbitkan oleh Manggha Museum of Japanese Art and Technology dengan KBRI Warsawa.
Dari Dr. Armand Smend maupun Dr. Maria Friend penulis mendapat banyak informasi tentang jaringan dan kegiatan komunitas dunia pencinta batik. Mereka juga menawarkan untuk kerjasama serupa dengan Museum Nasional Indonesia.
Dalam rangkaian pameran ini, para pecinta dan pakar batik dari seluruh dunia berkumpul sambil mengadakan conference, workshop serta tukar-menukar informasi mengenai seni batik.
Peminat pameran batik klasik itu berlangsung di museum prestisius itu selama 4 bulan, dari 2 Oktober 2007 s/d 20 Januari 2008, meyakinkan kita bahwa batik telah memiliki pengagum yang luas di Eropa. Tidak hanya peneliti batik asal Eropa yang berkumpul, tetapi dari seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat.
Krakow yang berjarak sekitar 300 km dari Warsawa merupakan kota utama sebagai pusat budaya, pendidikan dan pariwisata di Polandia.
Masyarakat kota Krakow mulai mengenal Batik Jawa pada sekitar akhir abad 19 – awal abad ke-20 dari beberapa warga Polandia yang menjadi tenaga medis pada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada saat kembali ke Polandia, mereka membawa kain-kain batik yang kemudian menjadi koleksi beberapa Museum di kota Krakow.
Batik Jawa yang dipamerkan sebagian besar merupakan karya seni batik klasik yang dikembangkan oleh Istana Sultan Yogyakarta koleksi pribadi Rudolf G. Smend, seorang berkebangsaan Jerman yang juga adalah kolektor Batik Jawa terbesar se Eropa.
Turut dipamerkan, berbagai koleksi batik warga Polandia yang diperoleh pada akhir abad 19 – awal abad 20. Adapun kurator pameran adalah Mrs. Malgorzata Martini dari Manggha Museum of Japanese Art and Technology.
Pameran Batik Jawa ini diselenggarakan setelah kerjasama kami yang sukses mengadakan pameran pada Maret – Juni 2006 di State Ethnographical Museum di Warsawa, bersama Dr. Maria Friend.
Selama pameran berlangsung kami juga mengadakan side events seperti pagelaran seni Indonesia, pemutaran film Indonesia, serta workshop dan pameran batik karya pembatik Polandia.
***
WAJAR, pemilik budaya itu –bangsa Indonesia— perlu memberikan perhatian yang lebih khusus. Termasuk di antaranya adalah mendirikan museum batik nasional di berbagai sentra yang telah memiliki karakter masing-masing. Seperti misalnya di Pekalongan, dalam rangka World Summit kemarin (3/10) dalam kunjungan Ibu Negara dan rombongan di kota ini.
Penetapan oleh UNESCO batik telah diangkat menjadi warisan budaya tak-benda bagi kemanusiaan pada tanggal 2 Oktober 2009 juga memiliki implikasi pengembangannya secara terus-menerus. Kewajiban ini menjadi tanggungjawab bangsa, khususnya kalangan seniman, pengrajin dan industri batik nasional.
Museum Batik Pekalongan terletak di lokasi sekitar 100 meter dari Lapangan Jetayu, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, tempat berlangsungnya peringatan Hari Batik Nasional 2011.
Mengapa di Pekalongan? Tentu semua paham, Pekalongan adalah salah satu sentra utama batik nasional. Bukan hanya Solo atau Yogyakarta saja.
Museum Batik Pekalongan diresmikan Presiden SBY pada tanggal 12 Oktober 2006.
Pada siang itu, sebelum memasuki museum, Ibu Ani dan Ibu Herawati melukis di atas payung dengan canting yang diikuti secara serentak oleh 1000 orang pembatik payung yang terdiri dari 750 perempuan, 200 pelajar, dan 50 orang seniman. Rampak gendang mengiringi para pembatik melukis payung.
Ibu Ani dan rombongan berkeliling melihat koleksi-koleksi batik nasional. Pengelola museum, Zahir Widadi, menjelaskan kepada Ibu Ani semua koleksi yang ada.
Sebelumnya, Ibu Negara telah menyampaikan pidato peringatan Hari Batik Nasional 2011 di Lapangan Jetayu. Ibu Ani menekankan pentingnya museum untuk melindungi budaya bangsa.
"Untuk dapat melindungi budaya sebagai warisan budaya, keberadaan museum sebagai referensi budaya sangatlah penting. Tantangannya bagi kita semua adalah bagaimana menyampaikan kepada masyarakat bahwa datang ke museum itu sangat penting. Museum adalah tempat yang mendidik dan tempat mempelajari serta mengetahui sejarah dan budaya bangsa. Banyak museum yang kita miliki, salah satunya adalah Museum Batik Pekalongan. Museum Batik ini dapat mengekspresikan sejarah, makna simbolis, tradisi dan semua hal yang terkait dengan batik agar batik dapat tetap eksis dan dicintai masyarakatnya," Ibu Ani menjelaskan.
Memang, batik sebagai karya seni adiluhung bangsa pantas dikemas dalam mendukung diplomasi budaya. Perlu perhatian terus-menerus untuk pengembangan kapasitasnya, seperti pesan Ibu Negara.
Sentra-sentra batik nasional adalah ‘mata air’ yang mengalirkan keteduhan sukma, tidak saja di tanah air. Karena batik telah mendunia. Ini warisan nenek moyang yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam aplikasinya menjadi industri ekonomi kreatif yang memberikan penghidupan bagi anak bangsa.
by...